Lensa Historika – Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) adalah salah satu ikon politik dan demokrasi Indonesia. Gedung ini bukan hanya tempat berlangsungnya sidang para wakil rakyat, tetapi juga sebuah simbol perjalanan panjang bangsa Indonesia dalam membangun sistem pemerintahan modern.
Dengan desain arsitektur yang khas, sejarah pembangunan yang sarat dinamika, serta berbagai peristiwa penting yang berlangsung di dalamnya, Gedung DPR RI memiliki makna mendalam baik secara politik maupun historis.
Untuk memahami kedudukan gedung ini, perlu ditelusuri sejarahnya sejak awal perencanaan, pembangunan, pemanfaatan, hingga perannya dalam perjalanan demokrasi Indonesia.
Awal Perencanaan dan Ide Pembangunan
Ide pembangunan Gedung DPR RI muncul pada dekade 1960-an ketika Indonesia tengah bertransformasi dalam politik dan pembangunan nasional.
Pada masa itu, Presiden Soekarno berupaya membangun berbagai infrastruktur monumental yang tidak hanya berfungsi praktis, tetapi juga menjadi simbol kejayaan bangsa.
Soekarno yang dikenal dengan gagasan arsitektur monumental, memandang perlu adanya gedung parlemen yang mampu mewakili wibawa negara.
Namun, perencanaan awal Gedung DPR RI tidak sepenuhnya ditujukan untuk DPR. Awalnya, kompleks tersebut dikenal sebagai Gedung Conefo (Conference of the New Emerging Forces).
Conefo dirancang untuk menjadi markas besar organisasi internasional yang digagas Soekarno sebagai tandingan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Soekarno ingin membangun pusat pertemuan bagi negara-negara berkembang dan non-blok sebagai bagian dari gerakan politik luar negeri Indonesia.
Pembangunan Gedung Conefo
Pembangunan Gedung Conefo dimulai pada tahun 1965. Gedung ini dirancang oleh arsitek terkenal, Friedrich Silaban, yang juga merancang Masjid Istiqlal. Desain gedung ini unik dengan kubah hijau besar berbentuk cangkang yang ikonik hingga kini.
Kubah tersebut tidak hanya menambah kesan monumental, tetapi juga melambangkan semangat kebangkitan bangsa.
Namun, pembangunan Gedung Conefo tidak berjalan mulus. Situasi politik Indonesia pada pertengahan 1960-an mengalami gejolak besar, terutama setelah terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Pergeseran kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto turut memengaruhi nasib gedung yang masih dalam tahap penyelesaian tersebut.
Peralihan Fungsi Menjadi Gedung DPR/MPR
Setelah runtuhnya gagasan Conefo seiring melemahnya posisi Soekarno, Gedung Conefo kemudian dialihfungsikan. Pada tahun 1966, ketika pemerintahan Soeharto mulai menguat, gedung ini ditetapkan sebagai tempat berkantornya Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Sejak saat itu, gedung tersebut menjadi pusat kegiatan legislatif Indonesia.
Pengalihan fungsi ini menandai awal mula Gedung DPR RI sebagaimana dikenal sekarang. Dengan infrastruktur yang cukup luas dan fasilitas sidang yang memadai, gedung ini dianggap layak menjadi pusat parlemen Indonesia.
Arsitektur dan Desain Ikonik
Salah satu aspek paling menonjol dari Gedung DPR RI adalah desain arsitekturnya. Kubah hijau besar yang menjadi atap ruang sidang utama, dikenal sebagai “atap kura-kura,” telah menjadi simbol parlemen Indonesia. Kubah ini terdiri dari dua lengkungan simetris yang memberikan kesan kokoh dan megah.
Selain kubah utama, gedung ini juga memiliki kompleks ruang perkantoran yang luas, ruang rapat komisi, serta fasilitas penunjang lainnya.
Kompleks DPR RI dibangun dengan tata ruang yang mempertimbangkan kebutuhan parlemen modern, meskipun seiring berjalannya waktu, banyak penyesuaian dan renovasi dilakukan untuk memenuhi tuntutan zaman.
Era Orde Baru dan Peran Gedung DPR
Pada masa Orde Baru, Gedung DPR RI menjadi salah satu pusat kekuasaan negara, meskipun secara praktis fungsi pengawasan DPR terhadap eksekutif sangat terbatas.
Pemerintahan Soeharto yang otoriter membuat peran DPR lebih banyak bersifat formalitas. Sidang-sidang yang berlangsung di dalam gedung sering kali hanya mengesahkan kebijakan pemerintah tanpa perdebatan berarti.
Meskipun begitu, gedung ini tetap menjadi lokasi berbagai peristiwa penting, termasuk Sidang Umum MPR yang menghasilkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Gedung DPR/MPR pada masa itu mencerminkan wajah demokrasi semu, di mana lembaga legislatif ada tetapi tidak memiliki kekuatan penuh dalam mengawasi jalannya pemerintahan.
Reformasi 1998 dan Simbol Perlawanan
Puncak sejarah Gedung DPR RI terjadi pada Mei 1998, ketika ribuan mahasiswa menduduki kompleks parlemen sebagai bentuk protes terhadap rezim Orde Baru.
Demonstrasi besar-besaran yang dipicu oleh krisis ekonomi dan korupsi akhirnya berhasil menekan Presiden Soeharto untuk mundur dari jabatannya setelah lebih dari 30 tahun berkuasa.
Momentum ini menjadikan Gedung DPR RI sebagai simbol perjuangan demokrasi rakyat. Untuk pertama kalinya, gedung yang selama ini dianggap sebagai “milik penguasa” benar-benar diambil alih oleh rakyat sebagai bentuk perlawanan. Peristiwa ini melekat kuat dalam ingatan sejarah Indonesia modern.
Pasca-Reformasi, Gedung DPR RI semakin aktif menjadi pusat kegiatan politik dan legislasi. Berbagai undang-undang penting dibahas dan disahkan di gedung ini, termasuk undang-undang mengenai otonomi daerah, pemilihan umum, dan lembaga independen seperti KPK.
Namun, gedung ini juga sering menjadi sorotan negatif. Demonstrasi dari mahasiswa, buruh, maupun kelompok masyarakat sipil kerap terjadi di depan kompleks parlemen untuk menentang berbagai kebijakan yang dianggap tidak pro-rakyat. Gedung DPR RI dengan demikian menjadi simbol ganda: pusat demokrasi sekaligus pusat kekecewaan rakyat.
Renovasi dan Perluasan Gedung
Seiring dengan meningkatnya jumlah anggota DPR dan kebutuhan akan fasilitas modern, kompleks DPR RI mengalami beberapa kali renovasi dan perluasan. Gedung-gedung baru ditambahkan untuk menampung ruang kerja anggota dewan, staf, serta fasilitas publik.
Meski begitu, pembangunan fasilitas baru di sekitar kompleks DPR RI tidak lepas dari kritik masyarakat. Banyak pihak menilai anggaran yang digunakan terlalu besar, sementara kinerja DPR sering kali dipandang belum sebanding dengan biaya yang dikeluarkan negara.
Gedung DPR RI hari ini menjadi simbol demokrasi Indonesia. Semua kebijakan besar, perdebatan politik, hingga drama politik nasional berlangsung di dalam ruang sidang yang beratap kubah hijau tersebut. Namun, di balik simbol itu, muncul pula berbagai kritik.
Masyarakat kerap melihat Gedung DPR RI sebagai representasi kesenjangan antara rakyat dan wakilnya. Skandal korupsi yang menimpa sejumlah anggota dewan, kebijakan yang kontroversial, hingga rendahnya kepercayaan publik terhadap parlemen, membuat gedung ini sering dikaitkan dengan citra negatif.
Gedung DPR RI dalam Perspektif Masa Depan
Ke depan, Gedung DPR RI akan terus memainkan peran penting dalam dinamika politik Indonesia. Sebagai pusat legislasi, gedung ini menjadi arena pertarungan gagasan dan kepentingan politik yang menentukan arah bangsa.
Namun, tantangan besar adalah bagaimana gedung ini tidak hanya menjadi simbol kekuasaan, tetapi juga benar-benar menjadi rumah rakyat.
Untuk itu, diperlukan komitmen kuat dari para wakil rakyat agar kepercayaan publik bisa dipulihkan. Gedung DPR RI seharusnya menjadi tempat di mana suara rakyat benar-benar didengar, bukan sekadar ruang formalitas.
Sejarah Gedung DPR RI mencerminkan perjalanan panjang bangsa Indonesia dalam membangun sistem demokrasi. Dari awalnya sebagai Gedung Conefo, beralih fungsi menjadi parlemen, hingga menjadi pusat peristiwa bersejarah seperti Reformasi 1998, gedung ini menyimpan kisah besar dalam perjalanan politik Indonesia.
Dengan arsitektur ikonik, dinamika politik yang silih berganti, serta peranannya dalam menentukan masa depan bangsa, Gedung DPR RI bukan hanya sebuah bangunan fisik, tetapi juga cermin dari perjuangan rakyat dalam menegakkan demokrasi.
Meski penuh kritik dan tantangan, keberadaan gedung ini tetap menjadi simbol penting bahwa demokrasi Indonesia terus bergerak maju, walau jalannya berliku.
Komentar Terbaru